***
By : Eko Junaidi Salam(No: 356)
***
Dia adalah Ais dan Isa, dua orang sahabat satu sekolah yang memiliki karakter berbeda, selalu bersaing dalam segala hal. Mereka selalu menghabiskan waktu untuk bermain bersama selepas pulang sekolah setiap hari apalagi saat hari libur, mereka paling sering bermain boneka berbie, bermain game di tablet, kadang juga bersepeda bareng untuk sekedar jalan-jalan ke taman.
Ais adalah seorang anak yang rajin, dan juga pintar di kelas. Di rumah pun dia anak yang patuh kepada kedua orang tua, sedangkan Isa adalah seorang anak yang pemalas, tapi dia anak yang cerdas di kelasnya, banyak teman-temannya yang berpikir bahwa dia anak yang jenius begitu pula dengan Ais, dia berpikir bahwa sahabatnya itu anak yang jenius. Sedangkan di kompleks perumahannya, Isa dikenal sebagai anak yang kurang bergaul dengan tetangganya, dia jarang bermain dengan anak-anak di kompleksnya, mungkin satu-satunya teman Isa hanyalah Ais.
Pada suatu minggu pagi hari, mereka bertemu di seberang jalan kompleks perumahan mereka masing-masing, kebetulan kompleks perumahan mereka saling berseberangan. Hari ini mereka berencana untuk bersepeda ke tepi pantai, disepanjang jalan Ais selalu menyapa teman-temannya, atau orang yang dia kenal, Ais memang anak yang periang. Tapi tidak untuk Isa, dia hanya diam saja saat melihat Ais menyapa.
“Hallo… hallo, sa ? Kamu kok diem siih ?? kan tadi temen kita sekelas tuh, kok gak kamu sapa juga ??”, tanya Ais penasaran.
“oh… emm… ya gak apa-apa kan ?”, sahut Isa tanpa ekspresi sedikit pun.
Untung saja Ais selalu bisa mengalihkan pembicaraan saat Isa mulai tak nyaman untuk menjawab pertanyaannya.
“Eh…eh ada kucing…. imut deeeh sa… puusss…pusss, hallo pus”, sapa Ais ke seekor kucing di pinggir jalan.
“oh iya… imuutt, lucu jugak, aq bawa pulang aja yah ? sekalian nambah hewan peliharaan… hehe”, sahut Isa kegirangan.
“Eh ngawuuur, kamu tuuh selalu asal garong aja, ntar dapet kucing garong tau rasa deh”, celoteh Ais sambil tersenyum lebar saat melihat sahabatnya itu tertawa.
saling bersenda gurau keduanya melanjutkan perjalanan ke pantai.
Beberapa jam kemudian, mereka telah tiba di tepi pantai. Melihat indahnya pantai dan birunya laut di pagi hari, mereka terpesona dan mulai memarkirkan sepeda di taman di tepi pantai itu. Mereka saling berlarian kecil menuju pantai yang letaknya tak kurang dari 100 meter, dari taman itu.
“Wuuuaaaa…. Pantainya bagus bangeeeet ya Ais…?!”, teriak Isa sambil berlarian menuju pantai.
“Iyaaaa….”, sahut Ais sambil mengejar Isa yang sudah jauh di depan.
“Isaaaa……. yuk main rumah-rumahan dari pasir ? “, tanya Ais yang mulai menyingsingkan lengan bajunya untuk membuat rumah-rumahan dari pasir pantai.
“Ah, enggak mau aaah… “, ejek Isa.
“Lho, kenapa ? kan bagus nih, masih sepi juga lho”, tanya Ais yang mulai kecewa.
“Aku mau bikin kastil sama vila aja aaaah, ga mau bikin rumah-rumahan, ayo siapa yang paling bagus bikinnya ? yang paling bagus bisa hancurin bikinan yang lain lho ya..”, ujar Isa sambil tertawa sinis.
Akhirnya mereka bermain pasir di pantai, sebenarnya mereka ingin bermain di taman pagi itu, karena taman itu biasanya sepi pada pagi hari buta, namun beranjak ramai mulai agak siang. Ais dan Isa selalu harus menunggu untuk menikmati permainan di taman itu, karena begitu banyaknya anak-anak yang bermain di taman itu juga.
Waktu telah menunjukkan pukul 09:45 AM, matahari mulai terik dan mulai menyengat kulit mereka berdua, akhirnya mereka bersiap-siap hendak pulang ke rumah masing-masing.
“Eh Ais, pulang yuuk… udah panas nih, ga kuat dah lama-lama, bisa-bisa kulitku yang putih ini jadi item ntar…”, kata Isa yang mulai kegerahan.
“Iya niih… udah capek juga main ditengah terik matahari kayak gini, pasirnya juga udah mulai panas nih”, sahut Ais yang mulai menyeka keringat di keningnya.
Sambil membersihkan diri dari sisa-sisa pasir, mereka bergegas menuju tempat mereka memarkir sepeda.
“Ayoo sa…! cepetan, ntar keburu adzan dzuhur di jalan lho..”, sahut Ais yang mulai mengayuh sepedanya.
“iyaa.. iyaa.. aku dibelakangmu kok”, sambil mengikuti Ais dari belakang.
Sambil mengayuh dengan santai, mereka saling mengobrol.
“Eh sa, sejak aku sekelas dengan kamu dari kelas 4, kamu selalu peringkat 1 ya kata temen-temen yang lain ?”, tanya Ais yang agak penasaran.
“Mmm… yaap, kenapa Ais ?”, jawab Isa yang sedikit tersenyum.
“Aku sejak itu ingin sekali mengalahkanmu sa, aku dengar kamu selalu peringkat 1 mulai dari kelas 1 sampai kelas 4, maka dari itu di kelas 5 ini aku ingin menjadi peringkat 1, hehe”, sahut Ais dengan semangat membara.
“Hahaha, emang bisa kamu ngalahkan aku, masih ada Dewi lho, diperingkat 2 ? coba saja kalau bisa, hehe”, sahut Isa dengan gelak tawanya yang meremehkan.
“Uuuh, awas lho ya, ntar kamu harus ngasih aku hadiah klo aku bisa peringkat 1..”, sambil menyenggol sepeda Isa.
Tak terasa mereka telah sampai di depan perumahan masing-masing, sambil berpamitan keduanya membelokkan sepedanya ke kompleks perumahan masing-masing.
“Assalamu’alaikum sa, sampai jumpa besok di sekolah yaa”, sahut Ais dari kejauhan.
“Wa’alaikum salam Ais, pulang sekolah besok kita main ya…”, jawab Isa yang sudah tidak kedengaran lagi oleh Ais.
Begitulah mereka setiap harinya, selalu bermain bersama namun tak pernah sekali-kali mereka belajar bersama. Sebenarnya Ais selalu mengajak Isa untuk belajar bersama, namun pada akhirnya mereka selalu bermain bukan belajar, karena Isa memang jarang belajar dia hanya selalu bermain bila diluar sekolah, tapi di sekolah dia serius belajar hingga temen-temennya takut untuk mendekatinya kalau sudah terlihat serius karena dia akan mudah marah bila ada yang sedikit mengganggunya. Bahkan temen-temen laki-lakinya, takut untuk menggangu selain karena dia mudah marah, bersama Ais dia juga ahli beladiri wushu.
Ais dengan impiannya untuk mengalahkan peringkat Isa, dan Isa dengan caranya agar membuat Ais tak pernah bisa peringkat 1. Begitulah mereka dikenal teman-temannya, mereka saling bersaing untuk mendapat peringkat terbaik di kelas.
Setiap kali ada tugas atau pun ada ujian di sekolah, Isa selalu mengajak Ais untuk bermain, Isa berpikir bahwa kalau sudah capek bermain pasti capek dan malas untuk belajar. Begitulah seterusnya hingga kenaikan ujian kelas berakhir.
Suatu ketika saat penerimaan rapor sekolah, gurunya mengumumkan peringkat 5 besar di kelas Ais dan Isa. Di dalam kelas itu gurunya mulai membacakan nama-nama anak yang masuk lima besar.
“Peringkat 5, dicapai oleh Ade… !”, ucap gurunya diikuti tepuk tangan teman-temannya.
“Peringkat 4, dicapai oleh…. Tiaa… !”, ucap gurunya diikuti sorak-sorai teman-teman Tia.
“Peringkat 3, dicapai oleh ?? siapa hayo? Tebak anak-anak. !”, ucap gurunya yang membuat anak-anak dikelas itu mulai penasaran.
“Niaaa… bu…!”, teriak sebagian anak-anak.
“Aisss… bu.. !”, teriak anak-anak lainnya.
“Dewiii… bu… !”, teriak anak-anak yang mencoba menebak..
Ais dan Isa yang tenang mulai terlihat gelisah, “Dag.. Dig..Dug”,detak jantung mereka mulai bersahut-sahutan, mereka ingin segera tahu siapa peringkat 1 kali ini. Di lain sisi, Ais terlihat agak ragu, tapi dia mencoba bersikap optimis.
“Baik anak-anak, ibu kasih tau siapa yang meraih peringkat ke-3 di kelas ini”, ucap gurunya sambil tersenyum melihat siswanya yang penasaran.
“Peringkat 3, diraih oleh Niaa….”, ucap gurunya sambil diikuti sorak-sorai teman-teman Nia.
“Lho kok ?, biasanya Ais peringkat 3 ? ”, pikir Nia didalam hati.
“Dan sekarang peringkat 2 diraih oleh….”, ucap gurunya sambil diam sejenak memperhatikan siwa-siswinya.
Seluruh siswa langsung terdiam membisu, dibenak mereka langsung timbul penasaran apakah Ais atau Isa yang menjadi peringkat 2. Begitu pula dengan Ais dan Isa, detak jantung mereka semakin berdetak kencang.
“Ternyata, eh ternyata….”, ucap gurunya yang semakin membuat penasaran siswa-siswinya.
“Peringkat 2, diraih oleh Isaa…”, ucap gurunya yang diikuti gemuruh siswa-siswinya yang kaget mendengar pengumuman wali kelasnya itu, karena mereka tak pernah menyangka Isa bisa dapat peringkat selain peringkat 1.
Isa langsung tertunduk lemas saat dirinya berada di peringkat 2 kali ini. Sementara Ais masih bimbang bercampur penasaran siapa yang meraih peringkat 1.
“Baik, ibu umumkan siswa yang meraih peringkat 1 di kelas kita.”, ucap gurunya yang sudah tak sabar mengumumkan siswa peringkat 1 ini.
“Dengan nilai rata-rata 98,8…”, ucap gurunya sambil diikuti sorak-sorai siswa-siswinya yang ingin segera mendengar anak yang dapat meraih peringkat 1 yang bisa mengalahkan Isa yang jenius.
Anak-anak mulai menebak-nebak siapa peringkat 1, mereka mulai menyebut nama Dewi di dalam pikiran mereka masing-masing.
“Ya, peringkat 1 diraih oleh…. Aiss…. !”, ucap gurunya yang membuat siswa-siswinya menuju bangku meja Ais dengan kegirangan karena mereka tak menyangka Ais dapat meraih peringkat 1 di kelas itu yang mengalahkan Isa dan Dewi yang jenius menurut mereka.
Ais langsung memeluk teman sebelahnya, yang tak lain adalah Isa. Isa yang masih lemas karena peringkatnya turun, mulai sedikit minitikkan air mata, karena sahabat di sebelahnya dapat mengalahkan dirinya.
Kring…. kring, suara bel pulang terdengar nyaring dari kejauhan.
“Baik anak-anak, mari berdo’a bersama sebelum pulang, mulai..”, ucap gurunya sambil diikuti keheningan siswa-siswinya yang juga berdo’a.
“Berdo’a selesai…”, ucap gurunya sambil meninggalkan kelas, begitu juga dengan Isa yang mengikuti dari belakang gurunya itu.
Suasana hiruk-pikuk terasa dikelas itu, mereka saling bersalaman dan saling mengucapkan selamat kepada teman-temannya yang masuk lima besar di kelas itu, begitu juga dengan Ais. Namun, Isa sahabatnya itu tak terlihat di dalam kelas, sepertinya dia sudah keluar duluan. Sambil mempersiapkan hadiah yang telah dibawanya dari rumah Ais, mencari Isa yang sudah di luar kelas.
“Isaaa…. ! tunggu sebentar …!”, teriak Ais dari kejauhan sambil berlarian kecil menuju Isa.
“Ada apa ?”, tanya Isa.
“Hmm… maaf ya sebelumnya, kalau aku udah bikin kamu marah.”, ucap Ais dengan kepala tertunduk.
“Kenapa minta maaf ?, aku gak kenapa-kenapa kok..”, jawab Isa sambil sedikit tersenyum ke arah Ais.
“Oh iya, kenapa kamu bisa mengalahkan aku ?!, bukannya aku selalu mengajakmu bermain daripada belajar ??”, tanya Isa yang mulai penasaran.
“Aku senang bermain denganmu Isa, karena kamu aku bisa peringkat 1.”, ucap Ais sambil tersenyum.
“Lho kok bisa begitu ?, gimana ceritanya ?”, tanya Isa yang benar-benar penasaran.
“Iya, selepas aku bermain denganmu aku selalu merasa capek, akhirnya aku tak bisa belajar di sore ataupun malam hari”, ucap Ais sambil memegang tangan Isa.
“Trus gimana kamu ngalahkan aku tanpa belajar gitu ???”, tanya Isa yang mulai bingung.
“Ya, karena capek itu aku selalu tidur malam dan bangun pada tengah malam, dan mulai belajar dan mengerjakan tugas sekolah hingga subuh dan pagi hari”, sahut Ais yang mulai mengingat-ingat saat pertama dia bangun tengah malam untuk pertama kalinya.
“Jadi, kamu belajar tengah malam gitu ? apa gak ngantuk ?”, tanya Isa.
“Awalnya sih ngantuk, tapi karena orang tuaku selalu bangun pagi, dan selalu mengajak aku untuk sholat berjama’ah, akhirnya aku segar kembali karena habis berwudhu saat sholat shubuh. Aku merasa belajar di pagi hari itu segar sekali rasanya, sunyi-senyap rasanya seakan-akan segarnya udara pagi membuat aku selalu semangat. Dan sejak saat itulah aku mulai belajar pada tengah malam hingga pagi hari.”, celoteh Ais kepada Isa yang hanya manggut-manggut.
“Oh iya, ngomong-ngomong aku ada hadiah buat kamu Ais sesuai janjiku padamu dulu.”, sahut Isa sambil membuka tasnya untuk memerikan kado kepada Ais.
“Waaah terima kasih Isaaa… aku juga ada hadiah buat kamu lho”, ucap Ais sambil mengeluarkan hadiah yang sudah ia siapkan sebelumnya.
“Lho kok kamu ngasih aku hadiah juga ???”, tanya Isa yang kebingungan.
“Iya, aku kira kamu akan tetap menajadi peringkat 1 sa, aku juga tak menyangka”, jawab Ais sambil tersenyum kepada Isa.
Akhirnya mereka saling bertukar hadiah, dan sejak saat itu mereka semakin saling bersaing untuk menjadi siswa terbaik dikelas. Mereka juga masih selalu bermain bersama dan bercanda bersama, mereka saling mengerti, dan saling membantu hingga mereka lulus sekolah.
***
NB : Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community
***
Sumber : http://fiksi.kompasiana.com/cerpen/2013/10/18/ffa-kisah-2-sahabat-599983.html